Karya Kho Ping Hoo
Bab 1 – Sin-Tong
Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.
Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah! Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap hari.
Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukan keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.
Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak, mata yang lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun bersih seperti bersih tubuhnya, dari rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.
Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu semi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak barat.
Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya Sin Tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin Tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin Tong!
Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki Pegunungan Jeng Hoa San menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga denga tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali pada musim semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan hati terbuka, dengan tulus ikhlas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.
Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian sederhana sekali, potongan "dusun".
Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Budha sendiri yang "menjelma" menjadi anak-anak dan menjadi calon Lama.
Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggal dari Keluarga Kwa di kota Kun-Leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan nama Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa diantara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng.
Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir dikenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.
Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan "maling.maling!" dan orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini.
Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka,tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah-bundanya.
"Pembunuh! Mereka membunuh keluarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak
"Manusia kejam! Tangkap mereka!"
"Tidak! Bunuh saja mereka!"
"Tubuh suami-istri Kwa hancur mereka cincang!"
"Bunuh!"
"Serbu...!"
Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biasa, mana mampu menahan serbuan puluhan bahkan ratusan orang yang sedang marah.
Anak laki-laki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak memandang penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para pembunuh ayah-bundanya. Terdengar olehnya betapa pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat., tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah!.
Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sin Liong tidak berada disitu! Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka dihatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi
Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyala-nyalapenuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan dengan mulut terngangga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!
Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin lIong terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari pagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san.
Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buahan dan makan daun-daunan, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan.
Di dalam hutan seribu bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya, Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan.
Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sungai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan "Bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon peak yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Gua ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan baginya.
Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludes sama sekali! Dengan alasan "mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".
Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung.
Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mangandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah ataupun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seseorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.
Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewa
Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mukjizat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.
Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam gua untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.
Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita.
Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, dipunggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.
"Sin-tong, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan gua dimana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun , belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhandan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenai apa artinya ketentraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
"Orang tua, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.
"Benar, benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Sin-tong."
Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik nafas panjang. "Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau dating kesini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?"
Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!
"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw, dan jangan kau menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong dan akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu".
"Lo-enghiong, aku tidk membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja mempersilahkan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat seluruh kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan, Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak seperti sekarang ini ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?"
Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini adalah Sin-tong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus goloknya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.
Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.
Sin Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak keluar.Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam luka yang mengangga.
"Aduhhhhh..mati aku....!" Kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu.
"Harap kaupertahankan, Lo-enghiong sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan empat helai daun.
Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik nafas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.
"Harap Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu tidak akan membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Sin-hek-houw.
Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.
"Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar".
Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran.
"Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu. Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk dating kesini dan untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat 2 orang manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."
Sin liong mengerutkan alisnya, sedikitpun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini.
"Lo-eng-hiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?"
Kakek itu memandang terharu.
"Ahh...kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi 2 orang iblis itu..." Sin-hek-houw menggiggil dan kelihatan jerih sekali.
"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"
"Di dunia kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Pat-Jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah engkau kalu sudah berada di tangan kakek ini Sin-tong."
"Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Lo-eng-hiong!"
"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri."
"Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. itu tidak baik."
Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri.
"Aku sudah memberi peringatan kepadamu Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali kesini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."
Namun Sin Liong menggeleng kepala "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan si sini, aku tidak pergi kemana-mana, Lo-enghiong."
"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal, Sin-tong dan sekali lagi terima kasih."
"Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah yang dikaguminya itu.
Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong, makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.
Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan seorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya!
"Apa artinya hidup
kalau hati tak senang?
Apa artinya hidup
Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu
Bekal memenuhi segala kehendak
Berenang dalam lautan kesenangan
Matipun tidak penasaran!"
Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas.
Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (13 Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai!
"Tahan dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!"
Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang.
"Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti harimau.
Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu.
Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!"
"Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel,
"Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.
"Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!"
Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?
Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali.
Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata,
"Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"
Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!
"Ha..ha..ha, sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum,
"Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?"
"Kami adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar, kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka.
"Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai."
Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?"
Mulai berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau apa?"
Tiga belas orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya.
"Locianpwe, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu Sin-tong."
"Apamukah bocah itu?"
"Bukan apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Makin nampak perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah.
"Anak-anak kurang ajar! Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?"
"Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.
"Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini.
Ilmu Hiat-ciang hoat-sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya! Tentu sajabagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!.
Tiba-tiba kakek itu tertawa lebar.
"Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg! Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa.
"Heh-heh, kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus mati, kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini sekalipun, dia juga tentu akan berani menentang Pat-jiu Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut.
Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.
"Sing-sing.... siuuuut.... trang-trang-trang..Heh-heh-heh!"
Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh.
"Ha..ha..ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya.
Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.
Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan.
"Prak-prak...dessss!"
Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!.
Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin.
Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.
Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya.
"Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ menghadangnya di depan pohon!
"Lepaskan aku!!" Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kakek itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah gontai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya.
"Plakkk!"
"Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri!
"Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu!
Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya!
Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.
"Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silahkan. Ha-ha-ha!"
Biarpun Kwat lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru,
"Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!"
"Ha..ha..ha..ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
Karya Kho Ping Hoo
Bab 2 - Wanita Berpedang Payung
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis.
‘Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!! Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
‘Twa Suheng......!! Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
‘Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......! Dia berdiri sesunggukan.
‘Apa.....? Aku telanjang.....? Pakaianmu......?!
Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
‘Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng.......!
Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
‘Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh...!
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya!
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda.
Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh gairah! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi, penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai ‘bayaran!. Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat!
Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.
‘Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm...!
Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati!
‘Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?!
Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata,
‘Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?!
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab,
‘kalau benar mengapa? Kalian ini siapa?!
‘Kami adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)!.
‘Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi
‘tsk-tsk-tsk! dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis.
‘Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku.!
‘Harap Toanio tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang.!
‘Ehm...! Maksud kalian?! Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.
‘Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban kami untuk melindunginya.!
Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum.
‘Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?!
Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalu kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!!
‘Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!!
‘Hemm, habis semestinya bagaimana?! tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong.
Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
‘Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!!
‘Perempuan hina!!
‘Jalang!!
‘Siluman betina!
Lima orang itu telah mencabut senjata masing-masing yaitu senjata golok besar yang selam ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
‘Siaaaattt...singg...siang...!
‘Ha-ha, bagus! kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!! Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
‘Trang-trang-trang...!!! Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu.
‘Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!!
‘Perempuan rendah!! Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.
‘Krekk!! Laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar.
Empat orang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh!
Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
‘Mampuslah!! Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia ‘memasuki! lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu.
‘Cusss...!! tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata,
‘Ihh, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!!
Tentu saja pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada?, Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya.
‘Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!! Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka!
Orang termuda dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki,
‘Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!!
‘Aihhh... kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!! Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.
‘Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka memaki lagi!!
Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
‘Aihhh, kau perlu diberi sedikit hajaran, Tampan!!
Empat orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini mendekatkan muka sute mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu!
Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda.
Dapat dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna merah darah!
‘Sute...!!!! Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu!
Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah.
'Sute...!! Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.
Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari, sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan sebal!
‘Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian.!
‘Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi nafsumu yang terkutuk dan menjijikan!! kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo Cai-li tersenyum. ‘Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!!
Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini.
Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga lebih dhulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan.
Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.
Kwa Sin Liong, atau yang lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita.
Sin tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kekaguman. Baru bertemu dan memandang wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka.
Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memeang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjizatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sin Liong, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala.
‘Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya untuk akan dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!! kata Sin Liong.
‘Huh-ha-ha, benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!!
Terdengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka!
‘Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong, lihat ini!!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
‘Cuat-cuat-cuat...!! Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu!
Sejenak Sin Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai,
‘Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.!
Bocah itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
‘Hi-hi-hik, anak baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,! kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan.
Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan,
‘Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!!
‘Ha-ha-ha! Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?! Pat-jiu Kai-ong menegur.
‘Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?! Kiam-mo Cai-li menyambung.
‘Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian.!
Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk Sin-Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak membayangkan rasa takut!
‘Desss......!! Karena gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang!
Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa,
‘Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!!
‘Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong dari tanganku!! Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
‘Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan ilmuku...!
‘Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sum-sumnya. Jangan Sin-tong!!
‘Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?!
‘Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian!!
‘Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!!
Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
‘Trakkk!! Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas.
‘Trakk! Trakkk!!!
Dua kali senjata payung dan tngkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li dengan bermacam sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa,
‘Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya golongan putih saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain!! Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana tempat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncul dimana saja secara tak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.
‘Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!! kata orang kedua. ‘Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut.
Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk menyangkal!! Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit), bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin.
‘Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!! kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan.
Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang.
‘Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku.!
Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya,
‘Harap maafkan, kana tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?!
Laki-laki itu tersenyum dan menjawab halus, ‘Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka menyendiri di Beng-san.!
Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata,
‘Aihhh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!! Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.
Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna,
tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh,
namun tampaknya meluap tumpah,
tampaknya kosong,
sungguhpun tak pernah kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan gagu.
Api panas dapat mengatasi dingin,
air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang
dapat memberkati dunia!!
‘Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!! kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata, ‘Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh.!
‘Ah, jangan merendah, Totiang,! kata Kiam-mo Cai-li, ‘Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya.!
‘Siancai! Pujian kosong...!! Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar.
‘Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!!
‘Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?! Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang.
‘Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!! kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
‘Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!! kata Kiam-mo Cai-li yang cerdik.
‘Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!! Tee-tok membentak marah dan melangkah maju.
‘Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!!
‘Tee-tok, buktikan omonganmu!! Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju.
‘Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!! kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
‘Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!! Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.
‘Siancai, siancai...!! Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. ‘Harap Cuwi suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu, sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?!
‘Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!! kata Tee-tok.
‘Aku pun setuju!! kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong.
‘Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!!
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik itu.
‘Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?! Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.
‘Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!!
‘Boleh! Siapa takut?! Wanita itu balas membentak.
‘Siancai...!! Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. ‘Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong.!
Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
‘Sin-tong, Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!!
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidka berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
‘Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis.
Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!!
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
‘Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah, Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong.!
‘Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lembut menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong.!
‘Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong.!
‘Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!!
‘Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!!
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.
‘Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia, tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini.!
‘Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!! kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.
‘Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!! bentak Thian-tok.
‘Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong,! kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
‘Mana bisa diatur begitu?! bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. ‘Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!!
‘Tidak!! bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalu terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. ‘Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu0satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai dari pada yang lain.!
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.
Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah seetiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan ‘mengeroyok! tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yan gsedang berkelebatan hampir tak tampak itu?
Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun.
‘Tontonan tidak bagus!! Terdengar dia berseru. ‘Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!!
Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagh yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
Tulis Komentar
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis.
‘Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!! Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
‘Twa Suheng......!! Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu.
‘Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......! Dia berdiri sesunggukan.
‘Apa.....? Aku telanjang.....? Pakaianmu......?!
Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
‘Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng.......!
Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
‘Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh...!
Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya!
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda.
Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit, namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh gairah! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.
Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetapi, penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai ‘bayaran!. Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat!
Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.
‘Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm...!
Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati!
‘Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?!
Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata,
‘Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?!
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab,
‘kalau benar mengapa? Kalian ini siapa?!
‘Kami adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)!.
‘Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi
‘tsk-tsk-tsk! dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis.
‘Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku.!
‘Harap Toanio tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang.!
‘Ehm...! Maksud kalian?! Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.
‘Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban kami untuk melindunginya.!
Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum.
‘Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?!
Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalu kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!!
‘Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!!
‘Hemm, habis semestinya bagaimana?! tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong.
Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
‘Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!!
‘Perempuan hina!!
‘Jalang!!
‘Siluman betina!
Lima orang itu telah mencabut senjata masing-masing yaitu senjata golok besar yang selam ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
‘Siaaaattt...singg...siang...!
‘Ha-ha, bagus! kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!! Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
‘Trang-trang-trang...!!! Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu.
‘Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!!
‘Perempuan rendah!! Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.
‘Krekk!! Laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar.
Empat orang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh!
Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
‘Mampuslah!! Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia ‘memasuki! lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu.
‘Cusss...!! tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata,
‘Ihh, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!!
Tentu saja pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada?, Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya.
‘Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!! Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka!
Orang termuda dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki,
‘Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!!
‘Aihhh... kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!! Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.
‘Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka memaki lagi!!
Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
‘Aihhh, kau perlu diberi sedikit hajaran, Tampan!!
Empat orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini mendekatkan muka sute mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu!
Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda.
Dapat dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna merah darah!
‘Sute...!!!! Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu!
Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah.
'Sute...!! Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.
Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari, sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan sebal!
‘Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian.!
‘Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi nafsumu yang terkutuk dan menjijikan!! kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo Cai-li tersenyum. ‘Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!!
Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini.
Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga lebih dhulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan.
Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.
Kwa Sin Liong, atau yang lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita.
Sin tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kekaguman. Baru bertemu dan memandang wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka.
Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memeang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemukjizatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sin Liong, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala.
‘Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya untuk akan dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!! kata Sin Liong.
‘Huh-ha-ha, benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!!
Terdengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka!
‘Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong, lihat ini!!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
‘Cuat-cuat-cuat...!! Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu!
Sejenak Sin Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai,
‘Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.!
Bocah itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis.
‘Hi-hi-hik, anak baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,! kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan.
Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan,
‘Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!!
‘Ha-ha-ha! Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?! Pat-jiu Kai-ong menegur.
‘Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?! Kiam-mo Cai-li menyambung.
‘Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian.!
Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk Sin-Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikitpun tidak membayangkan rasa takut!
‘Desss......!! Karena gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang!
Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa,
‘Ha-ha-yha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!!
‘Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong dari tanganku!! Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
‘Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan ilmuku...!
‘Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sum-sumnya. Jangan Sin-tong!!
‘Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?!
‘Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkannya dengan kepandaian!!
‘Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!!
Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
‘Trakkk!! Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas.
‘Trakk! Trakkk!!!
Dua kali senjata payung dan tngkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li dengan bermacam sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.
Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa,
‘Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya golongan putih saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain!! Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana tempat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncul dimana saja secara tak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.
‘Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!! kata orang kedua. ‘Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut.
Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk menyangkal!! Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit), bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin.
‘Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!! kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan.
Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang.
‘Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku.!
Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya,
‘Harap maafkan, kana tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?!
Laki-laki itu tersenyum dan menjawab halus, ‘Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka menyendiri di Beng-san.!
Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata,
‘Aihhh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!! Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.
Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)!
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna,
tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh,
namun tampaknya meluap tumpah,
tampaknya kosong,
sungguhpun tak pernah kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan gagu.
Api panas dapat mengatasi dingin,
air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang
dapat memberkati dunia!!
‘Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!! kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata, ‘Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh.!
‘Ah, jangan merendah, Totiang,! kata Kiam-mo Cai-li, ‘Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya.!
‘Siancai! Pujian kosong...!! Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar.
‘Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!!
‘Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?! Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang.
‘Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!! kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.
‘Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!! kata Kiam-mo Cai-li yang cerdik.
‘Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!! Tee-tok membentak marah dan melangkah maju.
‘Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!!
‘Tee-tok, buktikan omonganmu!! Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju.
‘Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!! kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
‘Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!! Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.
‘Siancai, siancai...!! Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. ‘Harap Cuwi suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu, sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?!
‘Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!! kata Tee-tok.
‘Aku pun setuju!! kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong.
‘Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!!
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik itu.
‘Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?! Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.
‘Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!!
‘Boleh! Siapa takut?! Wanita itu balas membentak.
‘Siancai...!! Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. ‘Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong.!
Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
‘Sin-tong, Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!!
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidka berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.
‘Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan menjadi raja Pengemis.
Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!!
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.
‘Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah, Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong.!
‘Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lembut menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong.!
‘Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong.!
‘Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!!
‘Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!!
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.
‘Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia, tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini.!
‘Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!! kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.
‘Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!! bentak Thian-tok.
‘Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-tong,! kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
‘Mana bisa diatur begitu?! bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. ‘Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!!
‘Tidak!! bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalu terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. ‘Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu0satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai dari pada yang lain.!
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.
Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah seetiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan ‘mengeroyok! tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yan gsedang berkelebatan hampir tak tampak itu?
Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun.
‘Tontonan tidak bagus!! Terdengar dia berseru. ‘Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!!
Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagh yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
Tulis Komentar
Karya Kho Ping Hoo
Bab 3 - Pangeran Pulau Es
‘Bangsat kecil, engkau siapa berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?!
Bentak Pat-jiu Kai-ong sambil mengusap pundaknya yang berdarah.
‘Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?!
bentak pula Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tidak patah tulangnya.
Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap sam sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seorang demi seorang. kemudian, setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, dia berkata,
‘Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam oleh perebutan orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba disini dan melihat lagak kalian, mau tidak mau aku masuk dan hatiku memang penasaran menyaksikan gerakan kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Pat-mo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat,!
Katanya sambil menuding ke arah Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang mengenal ilmu tongkatnya, padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
‘Dan ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi. Meniru gerakan Kauw Cee Thian Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raja Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!! Dia menuding arah Thian-tok.
‘Brakkk!!! Batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya menghina itu.
‘Manusia lancang, berani kau menghina Thian-tok?! bentaknya dan tongkatnya sudah diputar hendak menyerang.
Akan tetapi orang itu membentak,
‘Berhenti!!
Dan aneh, suaranya demikian berwibawa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan gerakan tongkatnya.
‘Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih mentah semua. Aku tidak membohong dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seorang demi seorang, akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang kalian pergunakan dalam pertandingan kacau balau tadi. Hayo siapa yang maju lebih dulu, akan kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!!
Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan, maka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat ke depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru,
‘Nah, coba kaubuktikan kementahan ilmu tongkatku!!
Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini menyerang, menggunakan tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan dengan memutar tongkat ke atas menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adalah gerakan pedang, dia ambil dari Ilmu Pedang Pa-mo-kiam-hoat. Hal ini adalah rahasianya, maka dia heran sekali mendengar orang itu mengenal ilmu tongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka mereka menahan kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya yang amat sombong itu.
Serangan Pat-jiu Kiam-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tiba-tiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu tahu-tahu telah melayang turun dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang cabang pohon, yang daunnya telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat sehingga tidak tampak, dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin sebatang tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-ong. Begitu dia turun, Pat-jiu Kai-ong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap.
‘Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang kau rubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?!
Dan orang itu pun kini mengimbangi permainan ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang sama! Jurus demi jurus dimainkan orang itu untuk menangkis dan balas menyerang, namun bedanya, serangannya jauh lebih cepat dan lebih kuat tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu! Tokoh-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang baru itu meniru gerakan Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang bukan lain adalah ilmu tongkatnya sendiri yang digubahnya sendiri! Dia menjadi bingung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan dalam belasan jurus saja, tiba-tiba terdengar suara keras, tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong patah dan si Raja Pengemis ini sendiri terpelanting dan mukanya pucat sekali karena tadi ujung tongkat lawannya telah menyambar dahinya tepat diantara mata dan kalau dikehendakinya, tentu dia telah tewas, akan tetapi orang aneh itu hanya mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa sia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuinya, tahu pula bahwa nyawanya diampuni maka tanpa banyak cakap dia lalu mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik,
‘Aku mengaku kalah!!
Tentu saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi, dalam pertandingan kacau balau, telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis, dan mereka maklum bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupakan senjata pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tanaga sinkang si Kakek Jembel yang amat kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu mengaku kalah, tongkatnya patah dan diantara alisnya terluka, sedangkan tadinya mereka mengira bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pat-jiu Kai-ong!
‘Si Jembel tua bangka memang tolol!!
Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat ke depan, tombaknya melintang di tangannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, tangan kiri yang mengandung tenaga mukjizat dan terkenal dengan sebutan Kang-jiu (Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam!
Orang itu tersenyum sabar.
‘Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal? Heran ilmunya masih serendah itu sudah berani malang melintang di Heng-san. Dan kau ini siapa? Ginkangmu cukup lumayan akan tetapi permainan tombakmu belum patut disebut Sin-jiu, dan pukulan itu, tentu yang dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena terlalu lemah, hemm, terlalu lemah...!!
Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-goyang menurutkan bibir atasnya yang tergetar!
‘Si keparat sombong! Tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Thian-he Te-it (Nomor Satu Sedunia) ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!!
Kembali orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan seluruh gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang sukar dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa sekali, lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian sudah melayang turun membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak di tangan Ciang Ham, bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana caranya!
‘Nah, coba mainkan ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajumu yang masih mentah itu.!
Thian-he Te-it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras dia menerjang, tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadai belasan banyaknya, semua mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian tertentu dari lawannya! Namun orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan gerakan yang sama, bahakan mata ‘tombaknya! berubah menjadi dua puluh lebih, membentuk bayangan tombak yang menyilaukan mata dan terjadilah pertandingan tombak yang amat aneh karena gerakan mereka sama.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian-he Te-it Ciang Ham. Ilmu tombak itu adalah ciptaannya sendiri dan selama ini belum pernah diajarkan kepada siapapun juga, merupakan kepandaian khasnya yang ampuh. Akan tetapi sekarang dia melihat orang ini mainkan ilmu tombaknya dengan gerakan yang lebih cepat dan lebih kuat! Marahlah dia.
‘Setan kau!!
Dia memaki dan kini tombaknya membuat lingkaran besar, menyambar-nyambar diatas kepala sedangkan lengan kirinya melakukan pukulan maut karena lengan itu seolah-olah merupakan sebuah senjata baja yang kuat sekali.
‘Bagus,!
Orang itu berseru, tombaknya bergerak pula menyambut tombak lawan dan terdengar suara
‘krekkk! ketika ujung tombak Thian-he Te-it patah disusul bertemunya dua buah lengan.
‘Desss...!!
Thian-he Te-it Ciang Ham mengaduh, melemparkan tombaknya yang patah, menggunakan tangan kanan mengurut-urut lengan kirinya. Lengan kiri yang terkenal dengan sebutan Lengan Baja itu, yang berani menangkis senjata tajam lawan, begitu bertemu dengan lengan lawan, berubah menjadi seperti bambu bertemu besi. Tulangnya retak dan sakitnya bukan main! Dia pun bukan anak kecil, seketika tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tingkat kepadaiannya jauh lebih tinggi, membuat dia seolah-olah berhadapan dengan gurunya, maka dia meloncat ke belakang, meringis dan berkata nyaring,
‘Aku kalah!!
Hening sejenak. Lima orang tokoh lain terheran-heran, hampir tidak dapat percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Biarpun mereka mulai merasa heran dan gentar, namun rasa penasaran membuat mereka lupa akan kenyataan bahwa orang itu benar-benar lihai. Mereka hendak membuktikan sendiri apakah benar orang aneh ini dapat memainkan ilmu istimewa mereka yang selama ini mengangkat nama mereka di tempat tinggi di dunia kang-ouw.
‘Hayo, siapa lagi yang ingin memamerkan ilmunya yang masih mentah?!
Orang itu sengaja menantang sambil melemparkan tombak cabang pohon yang telah berhasil mematahkan ujung tombak pusaka di tangan Ciang Ham tadi.
‘Aku ingin mencoba!!
Thian-tok sudah melompat ke depan dengan gerakan seperti seekor kera dan tangan kirinya menggaruk-garuk pantat, tangan kanan memegang tongkat Kim-kauw-pang itu memutar-mutar tongkatnya.
‘Nanti dulu,! kata orang itu. ‘Yang bertombak tadi, bukankah dia yang terkenal sekali sebagai ketua Kang-jiu-pang di Secuan? harap Pangcu (Ketua) menjaga agar anak buahmu tidak merendahkan nama Kang-jiu-pang dengan melakukan perbuatan melanggar hukum dan memperbaiki ilmu silatnya.!
Ciang Ham tidak menjawab, hanya kumisnya bergoyang-goyang karena marahnya.
‘Dan Anda ini, apakah mempunyai kudis di pantat, ataukah memang hendak meniru lagak seekor monyet? Kalau begitu, tentulah Anda yang berjuluk Thian-tok, yang kabarnya menjadi pemuja Kauw Cee Thian, terkenal dengan Ilmu Tongkat Kim-kauw-pang dan Ilmu Silat Sin-kauw-kun.!
‘Dugaanmu benar, akulah Thian-tok! Siapakah namamu, manusia sombong?!
Thian-tok Bhong Sek Bin membentak marah.
‘Ataukah kau tidak berani mengakui namamu dan bersikap sebagai seorang pengecut tukang mencuri ilmu orang lain?!
Biarpun diserang dengan kata-kata yang mnghina itu, orang ini tersenyum saja dan menjawab,
‘Namaku tidak ada perlunya kauketahui. Kalau aku tidak mampu mengalahkan engkau dengan ilmumu sendiri, barulah aku akan memperkenalkan diri dan boleh kau perbuat sesukamu terhadap diriku.!
Thian-tok lalu mengeluarkan suara memekik nyaring seperti seekor kera marah, akan tetapi sebelum dia menyerang laki-laki aneh itu telah menyambar tombak cabang pohon yang tadi dilemparnya ke atas tanah. Tombak itu panjang dan sekali dia menggerakkan jari tangannya, ujung tombak cabang yang runcing itu telah patah dan berubahlah tombak itu menjadi sebatang tongkat yang panjangnya sama dengan Kim-kauw-pang di tangan Thian-tok! Thian-tok sudah menerjang dengan gerakan lincah sekali. Kim-kauw-pang ditangannya diputar-putar sedemikian rupa, mulutnya menggeluarkan pekik-pekik dahsyat dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus gulungan sinar tongkat sendiri. Namun dengan enaknya orang itu pun memutar tongkatnya, serupa benar dengan gerakan Thian-tok bahkan mulutnya juga mengeluarkan pekik seperti monyet itu dan terjadilah pertandingan yang aneh dan lucu, seolah-olah bukan sedang bertanding, melainkan Thian-tok sedang berlatih silat dengan gurunya.
Gerakan mereka sama, akan tetapi gerakan orang itu lebih cepat dan lebih mantap. Kembali belum sampai dua puluh jurus terdengar suara keras, Kim-kauw-pang di tangna Thian-tok patah-patah menjadi tiga potong dan Si Racun Langit itu terhuyung mundur dengan muka pucat karena tulang pundaknya hampir patah terpukul tongkat lawan!
Melihat betapa bekas suhengnya kalah, Tee-tok marah sekali. Siang-kiam di punggungnya telah dicabutnya dan tanpa banyak cakap lagi dia telah meloncat maju.
‘Keluarkan senjatamu, manusia licik! Akulah Tee-tok, hayo lawan siang-kiam-ku ini kalau kau memang gagah!!
‘Aha, kiranya Tee-tok Siangkoan Houw yang terkenal. Kulhat tadi ilmu pedangmu adalah pecahan dari Hui-liong-kiamsut, dan kau pandai pula menggunakan Ilmu Silat Pek-lui-kun. Akan tetapi seperti yang lain, gerakanmu masih mentah.!
‘Tak usah banyak cakap! Lawanlah ilmuku!!
Bentak Tee-tok dengan marah dan dia sudah menerjang maju.
Laki-laki iut mematahkan tongkatnya menjadi dua potong tongkat yang sama dengan pedang-pedang di kedua tangan Tee-tok, dan begitu dia menggerakkan kedua tangannya, tampaklah sinar-sinar bergulung dengan gerakan yang persis seperti gerakan Tee-tok yang memutar sepasang pedangnya.
Kembali terjadi pertandingan yang hebat, seru dan aneh. Berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat, namun anehnya, tongkat dari cabang pohon itu sama sekali tidak dapat terbabat putus, bahkan kedua tangan Tee-tok selalu terasa panas dan perih setiap kali pedangnya bertemu tongkat! Dengan teliti Tee-tok memperhatikan gerakan orang dan dia terkejut.
Memang benar bahwa orang itu mainkan jurus-jurus ilmu pedangnya! Dan bukan hanya mainkan jurus ilmu pedangnya, bahkan telah mendesaknya dengan tekanan yang hebat karena orang itu jauh lebih lincah dan lebih kuat daripada dia. Lewat lima belas jurus, Tee-tok berseru,
‘Aku mengaku kalah!! Dia meloncat mundur, menyimpan pedangnya dan mengangkat tangan menjura ke arah orang itu sambil berkata,
‘Harap kau menerima penghormatanku dengan Pek-lui-kun!!
Kelihatannya saja dia memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada, namun dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan maut yang mendatangkan hawa panas dan yang dapat membunuh lawan dari jarak tiga empat meter tanpa tangannya menyentuh tubuh lawan! Itulah pukulan Pek-lui-kun(Kepalan Kilat) yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat!
Orang itu sudah melempar sepasang tongkat pendeknya, sambil tersenyum dia pun mejura dengan gerakan yang sama.
Terjadilah adu tenaga yang tidak tampak oleh mata. Di tengah udara, diantara kedua orang itu terjadi benturan tenaga dahsyat dan akibatnya membuat Tee-tok terpental ke belakang, terhuyung dan dari mulutnya muntah darah segar! Dia tidak terluka hebat karena tenaganya Pek-lui-kun membalik, hanya tergetar hebat dan mukanya makin pucat.
‘Engkau hebat! Aku bukan tandinganmu!!
Kata Tee-tok dengan jujur, dan memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan juga penasaran.
‘Engkau luar biasa sekali dan aku amat kagum kepadamu, sahabat!!
Gin-siauw Siucai berkata sambil melangkah maju.
‘Aku tahu bahwa agaknya aku pun bukan tandinganmu, akan tetapi hatiku penasaran sebelum melihat engkau mainkan ilmu-ilmuku yang tentu kauanggap masih mentah pula. Aku adalah Gin-siauw Siucai dari Beng-san, senjataku adalah suling dan pensil bulu entah kau bisa mainkannya atau tidak.!
‘Gin-siauw Siucai, sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal. Jangan khawatir, aku tentu saja dapat mainkan ilmumu. Dengan ranting pendek ini aku meniru sulingmu, dan aku pun memiliki sebatang pensil bulu.!
Orang itu memungut sebatang ranting yang panjangnya sama dengan suling perak di tangan Gin-siauw Siucai, juga dia mencabut keluar pensil bulu yang tadi dia pergunakan untuk mencoret-coret ketika tujuh orang tokoh sakti itu sedang saling bertempur. Akan tetapi kalau pensil bulu di tangan Gin-siauw Siucai adalah pensil yang dibuat khas, bukan hanya untuk menulis akan tetapi juga dipergunakan sebagai senjata sehingga gagangnya terbuat dari baja tulen, adalah pensil di tangan orang itu hanyalah sebatang pensil biasa saja.
Berkerut alis Gin-siauw Siucai. Orang itu dianggapnya terlalu memandang rendah kepadanya. Akan tetapi karena orang itu tersenyum-senyum dan meniru menggerak-gerakkan pensil dan suling di tangannya, dia lalu berkata,
‘Apa boleh buat, engkau sudah memperoleh kemenangan. Kalau kau kalah, orang akan menyalahkan aku yang menggunakan senjata lebih kuat. Kalau aku yang kalah, engkau akan menjadi makin terkenal, sungguhpun kami belum tahu siapa kau. Nah, mulailah!!
Siucai ini cerdik dan dia sengaja menantang agar lawannya bergerak lebih dulu.
Akan tetapi orang itu tersenyum dan sambil menggerakkan kedua senjata istimewa itu berkata,
‘Lihat baik-baik, Siucai. Bukankah ini jurus terampuh dari suling dan pensilmu?!
Kedua tangan orang itu bergerak dan Gin-siauw Siucai terkejut mengenal jurus-jurus maut dari kedua senjatanya dimainkan oleh orang itu untuk menyerangnya! Tentu saja dia dapat memecahkan jurus ilmunya sendiri dan berhasil menangkis kedua senjata lawan, akan tetapi seperti juga yang lain tadi, dia merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat, tanda bahwa dalam hal sinkang, dia masih kalah jauh. Namun, Siucai ini merasa penasaran sekali. Puluhan tahun dia bertapa di Beng-san menciptakan ilmu-ilmu silat tinggi yang dirahasiakan dan belum pernah diajarkan kepada siapapun juga. Bagaimana sekarang telah dicuri oleh orang ini tanpa dia mengetahuinya? Dia melawan mati-matian, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dari kedua senjatanya, namun karena kalah tenaga, setiap kali tertangkis dia terhuyung. Seperti juga yang lain dia tidak mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus. Terdengar suara keras dan kedua senjatanya itu, suling dan pensil patah-patah bertemu dengan senjata lawan yang sederhana itu. Dia meloncat ke belakang, menjura dan berkata,
‘Kepandaian Taihiap(Pendekar Besar) memang amat hebat, aku yang bodoh mengaku kalah.!
Orang itu tersenyum dan memuji
‘Tidak percuma julukan Gin-siauw Siucai karena memang hebat kepandaianmu.!
Ucapan itu dengan jelas menunjukkan kekaguman, bukan ejekan, maka Gin-siauw Siucai menjadi makin kagum dan terheran-heran.
‘Sekarang tiba giliran pinto untuk kau kalahkan, sahabat, Akan tetapi karena sepasang senjata pinto adalah hudtim dan kipas, yang tentu saja tidak dapat kau tiru, bagaimana kalau kita bertanding dengan tangan kosong? Hendak kulihat apakah kau mampu mengalahkan pinto dengan ilmu silat tangan kosong pinto sendiri?!
Orang itu masih tersenyum, akan tetapi diam-diam ia terkejut. Tak disangkanya tosu ini agak cerdik. Dia belum pernah melihat tosu ini mainkan ilmu silat tangan kosong, bagaimana dia akan dapat menirunya? Akan tetapi dengan tenang dia menjawab,
‘Tentu saja saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi sebelum bertanding, saya harap Totiang tidak keberatan untuk memperkenalkan nama.!
‘Siancai...! Anda licik, sobat. Semua orang hendak dikenal namanya, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Baiklah, pinto adalah Lam-hai Seng-jin yang berkepandaian rendah...!
‘Aihh, kiranya Tocu (Majikan Pulau) dari pulau kura-kura? Telah lama mendengar nama Totiang, girang hati saya dapat bertemu dan bermain-main sebentar dengan Totiang.!
‘Nah, siaplah!!
Lam-hai Seng-jin sudah memasang kuda-kuda sambil memandang tajam ke arah lawan karena dia ingin sekali tahu apakah benar lawan ini akan dapat menjatuhkan dia dengan ilmu silatnya sendiri!, Diam-diam orang itu memperhatikan dan tersenyum, lalu dia pun memasang kuda-kuda yang sama, kuda-kuda dari Ilmu Silat Tangan Kosong Bian-sin-kun (Tangan Kipas Sakti), semacam ilmu silat yang berdasarkan sinkang tinggi sekali tingkatnya sehingga telapak tangan menjadi halus seperti kapas, namun mengandung daya pukulan maut yang dahsyat sekali.
‘Hiiaaatttttt....!!!
Tosu itu sudah menerjang dengan pukulan mautnya. Tampak olehnya lawannya mengelak cepat dengan gerakan aneh, sama sekali bukan gerakan ilmu silatnya, akan tetapi betapa kagetnya melihat bahwa begitu mengelak lawan itu dalam detik berikutnya sudah menerjangnya dengan jurus yang sama, jurus yang baru saja dia pergunakan! Maklum akan hebatnya jurus ini, dia pun cepat mengelak untuk memecahkan ilmunya sendiri, namun harus diakui bahwa elakan orang tadi dengan gerakan aneh jauh lebih cepat dan bahkan sambil mengelak orang itu dapat balas menyerang!
Kembali Lam-hai Seng-jin menyerang dengan jurus lain yang lebih dahsyat, dan seperti juga tadi lawannya meloncat dan tahu-tahu telah membalasnya dengan serangan dari jurus yang sama! Tentu saja dia dapat pula menghindarkan diri dan makin lama dia menjadi makin penasaran. Dikeluarkan semua ilmu simpanan, jurus-jurus maut dari Bian-sin-kun sampai delapan jurus banyaknya. Semua jurus dapat dihindarkan orang itu dan tiba-tiba orang itu berseru,
‘Totiang, jagalah serangan Ilmu Silat Bian-sin-kun!!
Dan dengan gencar kini orang itu menyerangnya dengan jurus-jurus yang tadi sudah dikeluarkannya, delapan jurus paling ampuh dari Bian-sin-kun. Karena gerakan orang itu cepat bukan main, Lam-hai Seng-jin sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang sehingga dia terancam dan terdesak hebat oleh ilmu silatnya sendiri. Biarpun dia tahu bagaimana utnuk memecahkan jurus-jurus serangan dari Bian-sin-kun, namun karena kalah tenaga dan kalah cepat, akhirnya punggungnya kena ditampar dan dia terpelanting, mukanya pucat dan dia harus cepat-cepat mengatur pernafasannya agar isi dadanya tidak terluka.
‘Siancai...engkau benar-benar seorang manusia ajaib...!
Akhirnya dia berkata sambil bangkit perlahan-lahan.
‘Lepaskan aku...!!
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan semua orang menengok ke arah Sin-tong dan melihat betapa anak ajaib itu telah dipondong oleh lengan kiri Kiam-mo Cai-li.
‘Hei, lepaskan dia!! Enam orang kakek sakti maju berbareng.
‘Mundur!!
Kiam-mo Cai-li membentak dan menempelkan ujung payung pedang di tangan kanan itu ke leher Sin Liong.
‘Mundur kalian, kalau tidak dia akan mati!!
Melihat ancaman ini, enam orang itu terpaksa melangkah mundur semua. Laki-laki aneh itu memandang dengan sinar mata berkilat, kemudian dia melangkah maju dan suaranya halus namun penuh wibawa ketika dia berkata,
‘Kiam-mo Cai-li, lepaskan bocah yang tidak berdosa itu!!
‘Hi-hik, enak saja kau. Mundur atau dia akan mampus di ujung payungku!!
Dia menempelkan ujung payung yang runcing itu ke leher Sin Liong yang tak mampu bergerak dalam pelukan lengan kiri yang kuat itu.
Akan tetapi, tidak seperti enam orang kakek yang lain, laki-laki itu masih tersenyum dan masih melangkah maju, membuat Kiam-mo Cai-li mundur-mundur dan dia berkata,
‘Bocah itu tidak ada hubungan apa-apa dengan aku. Kalau kau bunuh dia, bunuhlah. Akan tetapi demi Tuhan, aku akan menangkapmu dan akan memberikan tubuhmu kepada Beruang Es untuk menjadi makanannya!! Berkata demikian, laki-laki iut menanggalkan jubah luarnya.
‘Kau...kau..Pangeran Han Ti Ong....!
‘Pangeran Han Ti Ong...!! Para tokoh kang-ouw itu berteriak.
‘Pangeran Pulau Es....!!
Kiam-mo Cai-li yang tadinya sudah merasa bahwa bocah ajaib itu tentu dapat dibawanya, menjadi marah sekali. Dia menjerit dengan lengking panjang rambutnya menyambar ke depan, ke arah leher Pangeran Han Ti Ong, dan pedang payungnya juga meluncur dengan serangan yang dahsyat.
Laki-laki itu, yang disebut Pangeran Han Ti Ong, tenang-tenang saja, tidak mengelak ketika ujung rambut yang tebal itu seperti seekor ular membelit lehernya, akan tetapi ketika pedang payung berkelebat menusuk, dia menangkap payung itu dan sekali menggaetkan tangan pedang payung itu dan sekali menggerakkan tangan pedang payung itu membabat putus rambut yang melibat lehernya. Tangannya tidak berhenti sampai di situ saja.
Selagi Kiam-mo Cai-li menjerit melihat rambut yang dibanggakan dan andalkan itu putus setengahnya, kedua tangan Pangeran Han Ti Ong bergerak, dan tahu-tahu tubuh Sin Liong dapat dirampasnya setelah lebih dulu dia menampar punggung wanita iblis itu sehingga tubuh Kiam-mo Cai-li menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Dengan Sin Liong dalam pondongan lengan kirinya, kini Pangeran Han Ti Ong membalik dan menghadapi tujuh orang itu, tidak mempedulikan Kiam-mo Cai-li yang mangeluh dan merangkak bangun.
‘Apakah masih ada diantara kalian yang hendak mengganggu anak ini? Sekali ini aku tentu tidak akan bersikap halus lagi!!
‘Siancai....!! Lam-hai Sian-jin menjura, ‘Harap Ong-ya maafkan pinto yang tidak mengenal Ong-ya sehingga bersikap kurang ajar.!
‘Maafkan aku, Pangeran.!
‘Maafkan saya...!
Enam orang kakek itu menggumam maaf, hanya Kiam-mo Cai-li saja yang tidak minta maaf, bahkan wanita ini berkata,
‘Pangeran Han Ti Ong, kau tunggu saja, Kiam-mo Cai-li tidak biasa membiarkan orang menghina tanpa membalas dendam!!
‘Hemmm, terserah kepadamu. Aku selalu berada di Pulau Es. Nah, pergilah kalian, orang-orang tua yang tak tahu diri, tega mengganggu seorang bocah.!
Dengan kepala menunduk, tujuh orang tokoh kang-ouw yang namanya terkenal itu meninggalkan Hutan Seribu Bunga. Karena mereka mempergunakan kepandaiannya, maka hanya nampak bayangan-bayangan mereka berkelebat dan sebentar saja sudah lenyap dari tempat itu.
‘Hemmm...berbahaya...! Han Ti Ong melepaskan Sin Liong dan menghela napas panjang sambil memandang bocah itu yang sudah berlutut di depannya.
‘Locianpwe selain sakti dan budiman juga cerdik sekali...! Sin Liong berkata memuji sambil memandang wajah Pangeran itu dengan kagum.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya.
‘Hemmm, mengapa kau mengatakan demikian, terutama apa artinya kau mengatakan aku cerdik?!
‘Locianpwe mengalahkan mereka, berarti Locianpwe sakti sekali, Locianpwe mengampuni dan membiarkan mereka lolos, berarti Locianpwe budiman, dan Locianpwe tadi mencatat gerakan-gerakan mereka dan kemudian mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri yang sudah Locianpwe catat berarti Locianpwe cerdik sekali.!
Wajah yang gagah itu berubah, mata yang tajam itu memandang heran dan kagum, kemudian dia berkata,
‘Wah, dalam kecerdikan, belum tentu kelak aku dapat melawanmu! Akal dan kecerdikan memang amat perlu untuk mempertahankan hidup di dunia yang penuh bahaya ini. Tahukah engkau bahwa tanpa menggunakan akal budi, memanaskan hati mereka dengan mengalahkan mereka dengan ilmu mereka sendiri, kalau mereka maju bersama mengeroyokku, belum tentu aku dapat menang! Sekarang kau sudah bebas dari bahaya, nah, aku pergi...!!
Melihat orang itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ, Sin Liong memandang ke arah mayat sebelas orang dusun yang masih menggeletak di situ maka dia berseru,
‘Locianpwe....!.
Pangeran Han Ti Ong berhenti melangkah dan menoleh. Dia merasa heran sendiri. Tidak biasa baginya untuk mentaati perintah orang kecuali suara ayahnya, raja ketiga dari Pulau Es. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suara bocah itu yang membuat dia mau tidak mau menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan bertanya,
‘Ada apa lagi?!
Dengan masih berlutut Sin lIong berkata,
‘Locianpwe, sudilah kiranya Locianpwe menerima teecu sebagai murid.!
Han Ti Ong kini memutar tubuh dan menghampiri anak yang masih berlutut itu.
‘Bocah, siapa namamu?!
‘Teecu She Kwa, bernama Sin LIong. Dengan ringkas Sin Liong lalu menuturkan tentang kematian ayah bundanya dan mengapa dia melarikan diri dan bersembunyi di hutan itu karena dia ngeri dan muak menyaksikan kekejaman manusia dan merasa mendapatkan tempat yang tentram dan damai di tempat itu.
‘Hemm, kau ingin menjadi muridku hendak mempelajari apa?!
‘Mempelajari kebijaksanaan yang dimiliki Locianpwe dan tentu saja mempelajari ilmu kesaktian.!
‘Kalau kau hanya ingin belajar silat mengapa tadi kau menolak ketika para tokoh menawarkan kepadamu agar menjadi murid mereka? Mereka itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian hebat.!
‘Namun teecu masih melihat kekerasan di balik kepandaian mereka. Teecu kagum kepada Locianpwe bukan hanya karena ilmu kesaktian, terutama sekali karena sifat welas asih pada diri Locianpwe.!
‘Tapi kau hendak belajar silat, mau kau pakai untuk apa? Bukankah kau lebih dibutuhkan dan berguna berada disini bagi penduduk sekitar Jeng-hoa-san?!
‘Maaf Locianpwe. Tidak ada seujung rambut pun hati teecu untuk mempergunakan ilmu kesaktian dalam tindakan kekerasan. Dan tidak tepat pula kalau kepandaian teecu disini berguna bagi para penduduk. Buktinya, teecu hanya bisa mengobati orang sakit, itu pun kalau kebetulan jodoh, sedangkan sebelas orang ini, tertimpa bahaya maut sampai mati tanpa teecu dapat mencegahnya sama sekali. Andaikata teecu memiliki kepandaian seperti Locianpwe, apakah sebelas orang ini akan tewas secara demikian menyedihkan? Teecu kini melihat bahwa menolong orang tidak hanya mengandalkan ilmu pengobatan, juga untuk menyelamatkan sesama manusia dari tindasan orang kuat yang jahat, diperlukan kepandaian. Mohon Locianpwe sudi memenuhi permintaan teecu.!
‘Aku adalah seorang penghuni Pulau Es. Hidup disana tidaklah mudah dan enak, tidak seperti disini. Kau akan mengalami kesukaran, bahkan menderita ditempat yang dingin itu.!
‘Kesukaran apa pun akan teecu terima dengan hati rela, karena tiada hasil dapat dicapai tanpa jerih payah, Locianpwe.!
Han Ti Ong tersenyum. Memang dia sudah tertarik sekali melihat bocah yang dijuluki Sin-tong ini. Bocah ini sama sekali tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain yang lemah.
Selain itu, pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bocah ini memang benar-benar bocah ajaib, memiliki ketajaman otak dan pandangan yang luar biasa, juga memiliki darah dan tulang bersih, bakatnya malah jauh lebih besar daripada dia sendiri! Kalau tadinya dia tidak mau menerima bocah ini sebagai murid adalah karena dia merasa malu terhadap diri sendiri, karena kalau dia mengambil anak ini sebagai murid lalu apa bedanya antara dia dengan tujuh orang yang dihalaunya pergi tadi. Akan tetapi, memang ada bedanya sekarang setelah Sin Liong sendiri yang mengajukan permohonan agar diterima menjadi muridnya.
‘Kalau memang sudah bulat kehendakmu menjadi muridku, baiklah, Sin-Liong. Mari kauikut bersamaku, akan tetapi jangan menyesal kelak. Hayo!! Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
‘Suhu, nanti dulu...!!
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh! Dengan suara kesal dia berkata,
‘Mau apa lagi?!
‘Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini saja?!
‘Habis, apa maumu?!
‘Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi.!
‘Kalau aku melarangmu?!
‘Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayat-mayat ini.!
Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
‘Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!!
‘Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik.
Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengna teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan.!
Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat pa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar ini dan dia mengangguk-angguk.
‘Lakukanlah kehendakmu, aku menunggu.!
‘Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!!
Dengan wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!
Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja. Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja. Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
‘Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib.!
Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk megubur sebelas buah mayat itu. Tentu saja hati Sin lIong girang bukan main dan satu demi satu diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran!
Han Ti ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
‘Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!!
Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di lain saat dia harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah ‘terbang! dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung Jeng-hoa-san, entah kemana!
Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja. Dia mengenal pula tempat dimana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru,
‘Suhu, harap berhenti dulu!!
Han Ti Ong berhenti.
‘Ada apa?!
‘Suhu, disana itu...!
Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan kesana-sini.
‘Mau apa kau?! Han Ti Ong membentak.
‘Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus...!
‘Wah, kau memang gatal-gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?!
Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.
Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya. Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat bususk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang beberapa sentimeter dalamnya.
‘Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur mereka.!
‘Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...?
‘Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!! Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari cukup untuk menampung cairan itu.
Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu dan berlutut di depan kaki suhunya,
‘Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman.!
‘Aahhh....!!
Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia ‘terpaksa! oleh muridnya?
‘Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh, Mari kita pergi, Sin Liong!!
Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san.
Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit berseru,
‘Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!!
Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari kempitan di bawah ketiaknya.
‘Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!!
‘Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati disana...!
Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja.
Dia tersenyum dan melihat muridnya sudha menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya,
‘Eihh, Suhu! Dia seeorang wanita!!
Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat.
‘Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!!
Wanita yang mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awut-awutan itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat. Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin LIong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan diatas tanah menangis seperti seorang anak kecil.
‘Jangan....aughhh, jangan....lepaskan aku....lepaskan ...! Jangan bunuh mereka...!!
Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring!
‘Toanio(Nyonya), kau kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan.
Tiba-tiba wanita itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu. Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh.
‘Hi-hi-hi-hikk!!
Aneh sekali, ketika wanita itu tertawa, Han Ti ONg melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air mata, matanya merah dan membengkak.
‘Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!! Kemudian dia menangis lagi. ‘ Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi....!
Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah, saudara termuda.
‘Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?! tanyanya sambil melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
‘Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!! Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
‘Suhu, mengapa....?! Sin Liong bertanya penasaran.
‘Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?!
Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memeriksa sebentar, dia menarik napas panjang.
‘Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang untuk mengobatinya.!
‘Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya.! Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak.
Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika gurunya mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata,
‘Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada perubahan?!
Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya.
‘Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula.!
‘Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu.!
‘Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan.!
‘Hemm, apa lagi?!
‘Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita.!
‘Kau..............kau gila.......?!
‘Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang jahat, bagaimana?!
‘Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?!
‘Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?!
Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah ‘Ketularan! watak muridnya, ataukah... ataukah...?
Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini.. entah mengapa, telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.
‘Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu kau rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya.!
Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
‘Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman.!
Dengan hati mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.
Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagiaan dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu?
Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau ini merupakan pulau rahasai yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak karena berani menentang kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluarganya menjadi pelarian. Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu utnuk mencari tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudha banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang!
Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di
Pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.
Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat, sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu.
Dia sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai diantara para keluarga raja di Pulau Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka Pulau Es menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari PUlau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini mengahadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw.
Para Pangeran yang sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka sendiri. Hal ini adalah untuk menjaga agar ‘darah! kerajaan tetap ‘aseli!. Akan tetapi, berbeda dengan semua kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa, berkeras mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah ‘biasa! ini hanya diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan raja.
Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja!, dari isteri tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han Swat Hong (Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat!
Pada pagi hari itu Swat Hong, nak perempuan berusia enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan itu.
‘Hong-ji (Anak Hong)...!
Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis, Ibunya tertawa.
‘Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi suram? Awan hitam apakah yang menghalanginya?!
‘Ibu, kau...kau kejam!!
‘Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia.! Memang watak Liu Bwee, ibu anak itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong.
‘Ibu kejam, mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?!
Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali dan terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan bertepuk-tepuk tangan,
‘Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!!
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaanya dan merasa terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata, Swat Hong yang tadinya berbalik menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi terheran dan berkhawatir.
‘Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan Ayah dan menyembunyikannya saja?!
Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya, mengangguk-angguk sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis, akan tetapi puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu.
‘Ibu ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!!
Swat Hong mengepal kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada disitu dan akan dihantamnya. Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa.
‘Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah Ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?!
Swat Hong tertawa.
‘Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat, biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri kepada orang yang menyusahkan hati Ibu.!
‘Anakku yang manis...!! Untuk menekan harunya, LIu Bwee mengangkat tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak,
‘Terbanglah!! dan melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya ‘terbang! tinggi sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun Ibunya tidak sekuat ayahnya, lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon!
Ketika tubuhnya melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
‘Haaiiiit...!!! Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasarilmu silat tinggi, telah digembleng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak, dari samping dia menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas!
Tubuh itu melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak girang,
‘Heiii, Ibu... itu Ayah datang....!!!
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
‘Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!!
Karya Kho Ping Hoo
Bab 4 – Istri Kedua
Teriakan Swat Hong ini mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah memiliki ginkang yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga tidak menyia-nyiakan pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan dan mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat kebawah dengan aman. Seperti tidak pernah mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang,
"Ayah datang, Ibu?"
Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat pantai.
"Heii, Ayah bukan datang sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah di dalam perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah perahu.
"Wah, jangan-jangan itu selir dan putera..ayah!" Swat Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar pulau Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak laki-laki di dalam perahu itu.
Mendengar ucapan yang tanpa disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak laki-laki itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan merasa menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang penuh cemburu tadi. Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus kata-katanya dari hati anaknya dia berkata riang,
"Ehh, kenapa kita disini saja? Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlari-larianlah mereka menuruni tebing untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi.
Sebenarnya, memang amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraanya itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang sendiran saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan, karena dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini dianggap oleh mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya!. Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka kebencian mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran calon raja itu memperistrikan puteri mereka!
Pada waktu itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takan bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singasana kepada puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang Bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang!
Ketika ibu dan anak ini tiba dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang berlari menyambut.
"Ayah....!!"
"Ha-ha, Hong-ji, kau makin cantik saja!"
Han Ti Ong menerima puterinya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa-tawa Swat Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya dengan jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang dilakukanya kepada ibuya tadi.
"Ha-ha-ha, bagus juga!"
Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang mencengkram ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri istrinya yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus,
"Harap kau baik-baik saja selama aku pergi."
Liu Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh Han Ti Ong ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar suara istrinya lirih.
"Ayahanda raja sedang menderita sakit parah."
Han Ti Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati istrinya. Dia sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang kematian ayahnya, ada hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan istrinya yang datang dari keluarga rendahan itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa keturunan istrinya itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian seperti teringat dia berkata,
"Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sing Liong akan tetapi di daratan besar sana dia dikenal sebagai Sin-tong."
"Hai, seorang sin-tong (anak ajaib)? Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!"
"Hong-ji, jangan!" ibunya menegur, akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cilik dengan gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya.
"Bukk!!" Tanpa dapat ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak. Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang,
"Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab."
"Aihhh..."
Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras,
"Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa disebut Sin-tong? Serangan biasa saja membuatnya roboh terjengkang!"
"Ha-ha-ha, kau lihat dia roboh, akan tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"
"Anak yang luar biasa..." terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin Liong . Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata,
"Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"
"He, Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong.
Anak ini menggeleng kepala.
"Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun."
Swat Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng itu, menegakan kepalanya dan menantang,
"Bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda-kuda.
Sin Liong menggeleng kepalanya.
"Adik Hong, aku tidak akan menggunakan kepandaian apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi terhadap seorang anak-anak seperti engkau."
Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan sikap tenang saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang.
"Swat Hong, kau terlalu sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!"
Swat Hong menoleh, melihat ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa, padahal Sin Lion adalah murid ayahnya atau suhengnya. Biarpun dia berwatak keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah."
Sin Liong terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata,
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu."
"Hi-hik, wah, dia baik sekali, Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siapakah nama lengkapmu? Dari mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?"
"Payah juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia memperkenalkan namanya, yaitu Kwa Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas perahu.
Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini memang berwajah manis, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya yang awut-awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya.
"Dia ini siapa?" Liu Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu sambil didalam hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya.
Akan tetapi sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak,
"Manusia-manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat.
"He, Twanio! jangan begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya. Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang-tenang saja!
"Wuuuutttt... plak-plak...!"
Tubuh Kwat Lin terpelanting ketika pukulannya tertangkis oleh Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum sadar benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi, Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya, menotok pundaknya sambil berkata,
"Tenanglah, Nona,"
Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang kelihatan tangkas-tangkas.
"Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya."
Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu Bwee mengangguk-angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba.
"Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di bagian kiri istana besar.
Setelah pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para pangeran yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak secara terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti. Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja di Pulau Es!
Setengah bulan kemudian, berkat perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat-obatan berupa daun-daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan berisi bunga bungan hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan patung patung kayu. Sudah berhari-hari, dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita malang ini harus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diam-diam dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!
Tiba-tiba Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada . Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ sambil memandangnya dengan senyum ramah.
The Kwat Lin yang kini sudah sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur,
"Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada di tempat aneh ini?"
Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan kata-kata itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada di pulau itu.
"Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita belasan hari ini."
"Lupa ingatan? Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."
"Memang begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini. Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat malang...."
Tba-tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat,
"Kau... kau tahu apa yang terjadi kepada kami...?"
Raja Han Ti Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang suhengmu, dan aku dan muridku pula yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di Pulau Es."
Mata yang indah ini terbelalak.
"Apa...? Di... di Pulau Es... dan aku telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..."
"Sekarang telah menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pualu kecil tak berarti, Nona, dan aku belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."
Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau paduka menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang juga...."
"Nona The, aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan merasa berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai seorang istriku, istri ke dua."
Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong?
"Tidak! Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong."
Han Ti Ong mengangguk-angguk.
"Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku berani meminangnya secara terang-terangan, karena aku yakin Nona akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam, memang buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tidak mungkin dia menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau orang sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.
"Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya? tanyanya dan kini dia mengangkat muka, memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa laki-laki ini gagah dan tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
"Terserah kepadamu. kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan musumu itu."
"Be...benarkah itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha Sin-hiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang memperberat hatinya, kalau dia pergi ke Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang mengetahuinya akan hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga dia akan mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu! Akan tetapi, benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak akan puas kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan kesaktianya? Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangnya. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata,
"Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan menangkan iblis itu?"
Han Ti Ong tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya.
"Inilah pedang yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu."
Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik akan tetapi segera dihapusnya. Itulah Ang-bwe-kiam pedang dari twa-suhengnya!
"Engkau masih ragu, baiklah. Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau lebih lihai daripada Pat-jiu Kai-ong."
Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah, sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai ukuran apakah dia lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
"Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja,"
Kata raja itu, seolah-olah dapat menbaca isi hati Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam.
"Baiklah, saya akan menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata."
"Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan ini."
Dia meraih kebawah dan tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu karang itu berbentuk panjang seperti pedang!
"Harap Paduka siap!"
Kwan Lin berseru dan tiba-tiba pedangnya menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada. Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakan dan pada detik berikutnya, leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu.
"Paduka... Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut Bu-tong-pai!"
Han Ti Ong tersenyum,
"Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu?"
Kwat Lin tertegun, akan tetapi dia masih belum puas.
"Saya ingin mencoba lagi!"
"Boleh, boleh. Kau seranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung tenaga mukjizat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau menangis! Setelah sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Saya menerima penawaran Paduka!"
Ha Ti Ong memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan wajah karena malu itu. dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih,
"Aku tahu, Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kau ambil ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari, mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia."
Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke taman itu.
Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin, sebagai istri ke dua, sunguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tanggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera. Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil orang luar sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui istri ke dua ini mereka dapat memukul Liu Bwee yang mereka benci.
Ternyata kemudian oleh Kwat Lin Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan terutama dengan mengorbankan dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-jiu Kai-ong. Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek itu mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam-diam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi istrinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmunya!
Sin Liong belajar ilmu silat dengan tekun bersama suaminya, Swat Hong yang lincah jenaka.Dan mulai tampaklah bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan yang disebut Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diam-daim menjadi kagum sekali karena dia harus akui bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang penuh kehalusan, kelembutan dan kasih sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak yang wajar seadanya. Benar-benar seorang bocah yang ajaib!
Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidak baikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak enak.
Yang dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu apa-apa memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri kedua, Liu Bwee menderita tekanan batin yang amat hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam didalam kamarnya karena hal ini dianggapnya lumrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap dikamarnya, dan kalau sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi kesopanan belaka!
Hati seorang wanita amatlah halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula membenci! setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwan Lin yang makin dipuja suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya apabila madunya itu diangkat menjadi permaisuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya di sia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin.
Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam bersoraklah para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari seorang ibu yang masih berdarah biru seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh seorang ibu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es! Pula kebencian mereka yang terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka condong kepada Kwan Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota!
Tujuh tahun telah lewat semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya selama tujuh tahun itu tidak terjadi perubahan sesuatu, para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan banyak!
The Kwat Lin yang kini menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan Liu Bwee tergeser menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita pertama yang paling tinggi tingkat kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang wanita yang memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan beberapa tokoh lain di Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong agaknya telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari suaminya dan melihat puteranya yang kini telah berusia enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat biarpun tubuhnya agak kecil, sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya sendiri sejak kanak-kanak.
Sin Liong telah memperoleh kemajuan yang mentakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua ilmu yang diajarkan oleh raja itu, sekali dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu beberapa tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian sumoinya, dan setelah dia berusia empat belas tahun, Sin Liong telah jauh meninggalkan tingkat sumoinya. Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa diperintah oleh suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri di bawah hujan salju yang amat dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im-yang yang amat hebat. Selain tekun mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang disembunyikan itu, Sin Liong juga rajin sekali membaca kitab-kitab yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh semua ahli sastra di Pulau Es dan mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong melihat ketekunan bocah ajaib ini. Tidak ada bosanya Sin Liong membaca kitab-kitab kuno dan setiap bertemu hurup baru yang tidak dikenalnya, dia mencatatnya untuk kemudian ditanyakan kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak dibimbing langsung, namun Sin Liong telah dapat memperkaya perbendaharaan kata-kata sehingga dia mampu membaca kitab-kitab yang paling kuno di dalam perpustakaan itu.
Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa, karena selain huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf itu mengandung arti yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab yang amat kuno di pulau itu jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri segan membaca kitab-kitab itu, karena selain sukar, juga isinya hanyalah sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya dan melelahkan otaknya. Namun semua kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun anak ajaib ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi didalam sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti yang masih merupakan "rangka" terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu, bahkan menemukan pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu yang selama ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es, yaitu ilmu inti sari dasar gerakan semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti Ong dapat mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan jurus-jurus, jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong menolong Sin Long di jeng-hoa-sian. Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin Liong sendiri, bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu "terselip" dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang kelihatanya tidak ada gunanya itu. Selain memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada di Pulau Es, Sin Liong memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat dengan jalan menyelidikinya di pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es.
Dia memang mendapat tugas untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau itu untuk kepentingan para penghuni Pulau Es, Dan dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini, Sin Liong tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia. Dengan adanya Sin Liong di Pulau Es, banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan untuk ini, Han Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan ilmu pengobatan tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh kemajuan pesat dan dalam usia tiga belas tahun itu dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari tandinganya.
Dengan demikian, hampir semua orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing-masing. Raja Han Ti Ong memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami malapetaka yang dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah memperoleh banyak keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan ilmu kepandaian yang amat hebat pula. Hanya seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun batin yaitu Liu Bwee! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya di dalam kamar, menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka dan selalu meneteskan darah, batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah terpuaskan.
Keadaan di dalam istana dengan adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para anggauta keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat kesempatan untuk menjatuhkan wanita ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak memperlihatkan sesuatu, merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua angauta keluarga raja, bahkan dirasakan pula oleh Sin Liong dan Swat Hong.
Sering kali Sin Liong kehilangan kejenakaan Swan Hong yang merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu termenung seorang diri, dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia menegus,
"Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!"
Swat Hong memandang pemuda itu dan menarik nafas panjang.
"Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Su-heng? Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan mereka sendiri."
"Aku mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...."
"Hushh...."
"Aku tidak membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biarpun dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...."
Dara itu kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi,
"Suheng, apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?"
"Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lazim menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi."
Sumoinya terbelalak.
"Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu, Suheng?"
Karena tertarik, dara yang mudah ini sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang suhengnya dengan berseri penuh godaan.
"Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk dihafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia menarik napas panjang.
"Suheng, kau tadi mencela aku yang kau katakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?"
"Aku suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke Pulau Neraka..."
"Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan urusan kita."
"Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan Suhu...."
"Tapi Ayah seorang Raja, Suheng!"
"Raja pun manusia juga."
"Tapi Raja hanyalah menjalankan hukum yang berlaku, Suheng."
"Hukum pun buatan manusia. Benda Mati!"
Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin Liong menjadi muram.
"Nah, ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!"
Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang menariknya ke arah bangunan di samping istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak sudah penghuni Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi yang berderet di pinggiran.
Ruangan itu luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es.
Para pesakitan yang sudah berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang laki-laki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerak-geriknya kasar, seorang laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan tenang-tenang saja.
Dengan suara lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui.
"Bouw Tang Kui telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian, mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena kejahatanya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada semua penghuni pulau."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar,
"Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri."
Bouw Tang Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya yang kasar dan nyaring berkata,
"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba."
Hakim berfikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata,
"Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."
Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal kepala. Banyak di antara mereka yang mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata, suaranya penuh pahit getir,
"Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!"
"Jadi engkau menerima keputusan hukuman?" hakim bertanya.
"Hamba mene...."
"Nanti dulu!!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu.
"Harap Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?"
"Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!"
Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaanya.
"Akan tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada hukum!"
Kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka banyak orang di situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah.
"Harap Suhu memaafkan teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi makin jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman seperti ini tidak patut dilakuka, lebih baik menuntun mereka yang tersesat agar kembali ke jalan benar dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan membuat meraka menjadi lebih jahat lagi."
"Kwa Sin Liong, kau tak berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim!, lanjutkan persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak dapat diterima!"
Bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selam ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi muridnya!, Sin Liong menghela nafas dan terpaksa dia duduk kembali.
"Ssttt, kau terlampau berani...." Swat Hong berbisik.
"Hemmm... tiada gunanya...." Sin Liong balas berbisik.
Suara jaksa yang lantang sudah memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan.
"Sia Gin Hwa dan Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan perzinahan. Karena Sia Gin Hwa telah menjadi istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan hina yang amat berdosa, melanggar larangan keras yang telah disyahkan hukum. Karena itu, tidak ada pengampunan baginya dan mohon pengadilan menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan belum beristri, namun dia telah berzinah dengan istri orang, maka dia pun harus dijatukan hukuman yang layak. Hukumannya terserah kepada hakim."
Wanita itu menundukan mukanya yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara mengejek dari mereka yang menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja. Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga menundukan mukanya, kelihatan gelisah sekali.
"Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus kali kepada Lu Kiat!"
"Hamba tidak menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak.
"Yang melakukan perzinahan adalah hamba berdua, maka kalau dibuang pun harus hamba berdua!"
"Tidak, hamba menerima hukuman rangket seratus kali!" teriak pula Lu kiat.
"Laki-laki apa kau ini? Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita andaikata dibuang ke Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara mereka.
"Diam!!" Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan.
"Karena kalian melakukan perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya kalian berdua sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!"
Kata Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.
Kembali Sin Liong bangkit berdiri.
"Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seorang istri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak perlukah diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berzina dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsunyai? Tentu ada sebab-sebabnya."
" Sin Liong, engkau seorang bocah belum dewasa, tahu apa tentang nafsu segala?" bentak gurunya, agak tertegun juga karena dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya itu.
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya.
"Teecu...teecu...mengerti dari kitab...."
"Pembelaan seorang anak yang belum dewasa terhadap perzinahan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong.
Persidangan dibubarkan dan tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa di buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara!
Peristiwa seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat Lin adalah seoarang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
Karya Kho Ping Hoo
Bab 5 – Istana Pulau Es
Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tabur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya,
"Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong menahan isaknya.
"Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan..."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata,
"Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga,
"Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini."
Dengan kedua tangan di kepal,Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah sekali,
"Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?"
Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara Bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?" jawab kepala penjaga dengan muka bingung.
"Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!" Kembali Swat Hong membentak.
"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya," kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berzinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong , permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh.
Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sri Baginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sri Baginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perzinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sri Baginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumionya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit.
"Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah."
Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati.
"Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?"
Terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa.
"Saya tidak akan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus.
Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berzinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perzinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berzinah dengan seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?"
Teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah saksinya!"
Tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar.
"Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...."
"Ssssttt, diam...!" Permaisuri menarik puteranya.
Akan tetapi hakim telah berkata lagi,
"Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..."
"Nanti dulu!"
Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim.
"Tidak adali kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Heei A Kiu!, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang jujur, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!"
Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk.
Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja,
"A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak,
"Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..."
"Berani kau mengatakan puteraku bohong?"
Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaisuri itu, mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya.
Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaisurinya,
"Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?"
Permaisuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata,
"Lanjutkan."
Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang,
"Saksi utama yang mejadi pelaku perzinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!"
"Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang,
"Ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sri Baginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!"
Ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dengan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!"
Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu.
"Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?"
Ibu yang hancur hati ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berzinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata.
"Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!"
Setelah berkata demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam.
"Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu.
"Hmm, sesukamulah!'
Kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar waniti Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana!
Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu.
"Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong dan melindunginya." Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dala kedukan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga.
Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang pantas dihuni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputuskan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum akan keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar iyu. Sumoinya baru berusia empat belas tahun! biarpun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai untuk menjaga diri, namaun betapapun juga sumoinya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut, gumpalan es yang kadang-kadang sebesar gunung dan celakalah kalau sampai perahu tertumpuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, digerakan oleh angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar. Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu berenang di kanan kiri dan belakang perahunya. Betapapun juga tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaianya tidak akan berguna banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan kiri, depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu pergi berenang pergi dengan cepat seperti ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang sering kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian, kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan besar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air. Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyebar obat bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itupun lari cerai berai tidak berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu.
Setelah melalui perjalanan yang amat sulit akhirnya menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar, pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan mati. Namun, dibalik kesunyian itu Sin Liong merasakan seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi disana-sini, siap untuk mencengkram siapa pun yang berani mendarat!
Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berasil mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini, karena dara itupun tahu jalan ke situ, dan mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini?
Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah-lebah itu mengandung racun yang amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah, Sin Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah itu maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir. namun, binatang-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong kaget. betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting ini.
Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api diujung ranting yang dikumpulkan dan dibawanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking, lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah! lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa yang ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecil lainya yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting.
"Siuuuttt..." tiba-tiba tampak benda hitam menyambar kearah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bawa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menari kebawah ranting terbakar itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang membokonginya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mau mencaru Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang dan lain binatang kecil. Terdengar bunyi tampak kaki menginjak daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkan itu kotor tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh juriga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda itu tersenyum ramah, bersikap tenang dan mengangkat ranting menyala tinggi-tinggi untuk memperhatikan wajah mereka.
"Harap Cuwi sudi memaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka apalagi terhadap penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoiku yang bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini."
Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar.
"kau dari mana?"
"Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan membentak,
"kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi bersabar."
Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas,
"Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat itu, muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar,
"Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?" Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!"
"Apa??"
Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu.
"Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawanya."
Si Brewok meragu.
"Kalau begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang Kui melangkah maju.
"Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong mengangguk. Memang menghadapi orang-orang kasar ini akan berbahaya sekali karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat tempat-tempat berbahaya, lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pualu yang amat aneh dan berbahaya, fikirnya. Pantas kalau disebut Pualu Neraka, dan diam-diam dia mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es yang membuang orang-orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa ini baru beberapa bulan saja dibuang ke sini, sedangkan yang lain-lain, biarpun dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orang-orang liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatanya! Dan selain menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu. Buktinya, biarpun meraka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa sepatu tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat.
Tak disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar, dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut To-cu.
Ruangan itu luasanya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan tocu!"
Kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan memandang penuh perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaianya tidak seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya dihias dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di sebelah kanan ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatannya gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatanya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan. Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnnya penuh perhatian, anak perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudia berkata berlahan, suaranya rendah,
"Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya? Hendak kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?" Berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toyak dari tangan seorang penjaga, menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakan kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali, kong-kong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu besorak penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena mengangap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat apa! Permainan kanak-kanak seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah.
"Kong-kong juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak prempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!"
Kakek itu membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong. Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah, menahan tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata menghibur,
"Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang manja menjadi berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?"
Kakek itu membentak, menahan kemarahanya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang,
"Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong dan ...."
"Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yuang berada disitu adalah orang-orang buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal disitu selama tiga keturunan, ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi kesemuanuya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda itu yang dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu.
"Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!"
Terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti Ong!"
"Jadikan dia mangsa ular!"
Kakek bekepala besar itu mengangkat kedua lengannya ke atas dan membentak,
"Diam...!!"
Sin Liong kembali terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi ketua Pulau Neraka agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia sendiri yang berdiri di depan kakek itu merasa betapa kedua kakinya tergetar! Mengertilah dia bahwa ketua Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam keadaan terancam. Namun Sin Liong tidak merasa takut sedikitpun juga karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap mereka ini. Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata,
"To-cu, sekali lagi kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama sekali tidak mengandung niat buruk dan kalau tidak ada perlu sekali pasti aku tidak akan berani menginjakan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari Sumoiku yang bernama Han Swat Hong puteri Suhu....."
Sin Liong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa dia telah kelepasan bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur maka tak mungkin kata-kata itu ditariknya kembali.
"Putera Han Ti Ong...??" Ketua Pulau Neraka berseru keras sekalli sampai mengagetkan semua orang.
"Kau mencari puteri Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong berkata,
"Benar, To-cu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini maka aku menyusul ke sini."
"Tangkap puteri Han Ti Ong!"
"Bunuh dia!"
"Gantung puterinya!"
Kini Sin Liong mengangkat kedua lengannya dan sambil menggerakan khikangnya dia beseru,
"Harap Cu-wi diam!"
Dan diamlah semua orang. Di antara meraka yang memiliki kepandaian tinggi, termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum dewasa benar ini ternyata memiliki kekuatan khikang yang amat hebat!
"Harap Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga menjadi orang buangan."
Ucapan Sin Liong ini tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati semua orang sehingga mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata melainkan hanya memandang kepada SinLiong dengan mata terbelalak.
"Kau bohong!" Kakek berkepala besar itu menghardik.
"Mana mungkin Han Ti Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau Neraka?"
"Agaknya Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es, dan sebetulnya yang dianggap melanggar hukum adalah istri suhu sendiri, istri tua, yang aku yakin hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu mewakili ibunya untuk membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku menyusul ke sini untuk mengajaknya pulang ke Pulau Es."
Tiba-tiba ketua Pulau Neraka tertawa bergelak, tertawa penuh kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan air mata!
"Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya! Rasakan kau sekarang Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa kesengsaraan karena keluarga berantakan. Ha-ha-ha!"
Semua orang yang melihat dan mendengar kata-kata ketua Pulau Neraka ini, kontan tertawa-tawa semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biarpun mereka belum sempat membalas dendam kepada Raja Pulau Es, mendengar nasib buruk Raja itu sudah merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka. Hanya anak perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak mengerti apa-apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan Sin Liong yang juga terheran-heran.
"Hei, Kwa Sin Liong! Betapa baiknya ceritamu, akan tetapi aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri peteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. kita tunggu dan lihat saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini, barulah kita akan bicara lagi. Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan sambil menanti munculnya puteri Han Ti Ong!"
Si Brewok dan beberapa orang yang agaknya menjadi pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah melangkah menghampiri Sin Liong dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyerah sambil menanti munculnya Sumoinya karena sebelum dia bertemu degnan Sumoinya, melawan hanya akan menimbulkan permusuhan yang tidak ada artinya saja. Maka dia mengangkat kedua tangannya dan berkata,
"Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian menggunakan kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan sampai Sumoiku muncul."
Melihat sikap tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang yang mengurung Sin Liong dengan sikap mengancam tadi kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi Sin Long lalu melangkah ke depan dan berkata,
"Marilah bawa aku ke kamar tahanan."
"Jangan ganggu dia, biar dia mengaso di kamar tahanan dan layani baik-baik sampai puteri Han Ti Ong mucul. kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta membunuhnya!" Ketua Pulau Neraka berkata sambil terkekeh-kekeh karena hatinya senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai membuang istrinya sendiri ke Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang diri ke Pulau Neraka. Biarpun dia belum percaya benar akan cerita ini sebelum dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa senang di dalam hatinya.
Dengan sikap gagah dan tenang sekali Sin Liong digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh pandang mata penuh khawatir dari anak perempuan tadi. Setelah rombongan itu lenyap, anak perempuan itu mencela ketua Pulau Neraka,
"Kong-kong kenapa dia ditahan? Dia luar biasa, berani dan pandai sekali!"
"Hushh! Dia orang Pulau Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita. Mengerti?"
Anak perempuan itu cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil bersungut-sungut sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu memberi isyarat memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum. Pembantunya juga tertawa, mengangguk-anguk lalu pergi. Kakek ini, ketua Pualu Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali tidak curiga kepada cucunya sendiri, tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap dan mendengarkan perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang tidak pernah mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak manusia dan biarpun terhadap orang-orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh kepercayaan. Maka diapun percaya penuh akan kata-kata ketua Pulau Neraka dan dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring memasuki kamar tahanan! Setelah berada di dalam kamar di bawah tanah yang sempit itu, dengan jendela dan besi dari baja, dan ruji baja yang kuat memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak menaruh khawatir akan keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah mengapa sumoinya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah berada di Pulau Neraka, tentu tidak seperti ini sikap mereka terhadap dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa Sumoinya belum tiba di Pulau Neraka, padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya sumoinya itu?
Tengah malam telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar tahanan itu. Tidak ada penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa di pintu masuk lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang selalu siap dengan senjata di tangan. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang marah-marah di sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan.
"Kalian berani melarangku masuk?" terdengar suara wanita itu.
"Nona, tahanan ini adalah orang penting! dan...."
"Dan kauanggap aku bukan orang penting? Kaukira aku mau apa? Aku mau mengejeknya dan memakinya, dia adalah musuh besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau melarang dan aku akan mengatakan kepada Kong-kong bahwa kalian berani kurang ajar kepadaku hendak menggodaku, aku mau melihat apakah kepala kalian masih akan menempel di leher!"
"Ah, tidak... bukan begitu...."
"Maafkan, Nona...."
"Silahkan masuk, silahkan;;;;"
"Awas kalau ada yang mengikuti aku dan mengintai, berarti dia maukurang ajar dan akan kuberitahukan kepada Kong-komg!"
Sin Liong sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan ribut-ribut dengan para penjaga itu, akantetapi begitu dara itu muncul di bawah sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak memanggil karena mengira bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di bawah sinar lampu yang tidak begitu terang memang gadis cucu ketua Pualu Neraka ini hampir sama dengan Swat Hong. Setelah melihat jelas bahwa yang datang adalah cucu ketua Pulau Neraka dan mengingat akan kata-kata gadis ini di luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan memakinya, Sin Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya, pura-pura tidur.
"Ssssttt..."
Sin Liong tidak menjawab, bergerak sedikitpun tidak. Perlu apa melayani seorang bocah yang hanya datang hendak mengejek dan memakinya? Demikian pikirnya sungguhpun hatinya terasa tidak enak juga harus mendiamkan saja orang yang susah payah datang sampai ribut mulut dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diam-diam dia mengintai dari balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit.
"Pssstttt... kau tidak tidur, bulu matamu bergerak-gerak, jangan kau tipu aku...." anak perempuan itu berkata lagi dengan suara bisik-bisik dan meruncingkan bibirnya di antara ruji-ruji jendela.
Sin Liong menarik napas panjang dan membuka matanya.
"Hah, kau boleh mengejek dan memaki sesukamu, kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya.
"Hi-hik!" Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya yang kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan para penjaga itu, percaya saja apa yang kukatakan apa yang kukatakan di luar tadi!"
Sin Liong bangkit berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan. Mereka saling berhadapan dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela.
"Apa yang kaumaksudkan, Nona?"
Mulut yang tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya manja,
"Kau tadi menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang menjadi Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia kepada Han Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang perempuan itu.
"Baiklah, Adik yang manis. sebenarnya, mau apa kau datang ke sini kalau bukan untuk mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?"
"Aku datang untuk bercakap-cakap."
"Hemm, waktu dan tempatnya tidak tepat untuk bercakap-cakap. Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah cucu To-cu di sini, tempat ini di kamar tahanan yang kotor dan sempit dan sekarang sudah lewat tengah malam. Harap engkau kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak. jangan-jangan kau akan dimarahi Kong-kongmu."
"Aku tidak takut! Aku sengaja datang ke sini untuk bercakap-cakap denganmu. Siapa berani melarangku?"
Sikapnya menjadi galak, matanya bersinar-sinar dan Sin Liong menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa ganjilnya watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berzinah dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya periang lalu berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad membuang diri ke Pualu Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh sekali.
"Baiklah, jangan marah karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin bercakap-cakap, nah, bercakaplah dan aku akan mendengarkan."
Gadis itu melongo.
"Bercakap apa?"
Diam-diam Sin Liong merasa geli. Benar-benar seorang gadis yang masih seperti kanak-kanak dan mungkin semua sikapnya tadi, ketika bergembira dan ketika marah, tidaklah setulusnya hati maka demikian mudah berubah.
"Bercakap apa saja sesukamu, misalnya siapa namamu, siapa pula nama Kong-kongmu dan keadaan di pulau ini dan lain-lain."
Wajah itu berseri kembali, gembira setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak sekali bahan untuk dibicarakan.
"Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan hatinya. Dan memang hati Soan Cu senang sekali mendengar pujian ini.
"Benarkah? Benarkah namaku indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu bernama Ouw Kong Ek bukanlah seorang buangan dari Pulau Es, melainkan keturunan orang buangan yang semenjak ratusan tahu menjadi ketua di situ karena memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan dari Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang pertama yang menjadi "Ketua" di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek. Ouw Kong Ek sendiri mengambil seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan permaisuri Raja Pulau Es yang dijatuhi hukuman buang karena fitnah dan sesungguhnya dia tidak mau melayani seorang pangeran yang tergila-gila kepadanya, menjadi istrinya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ouw Sian Kok. Akan tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan seorang gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda. Dia mencurahkan pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua ilmunya dan yang diharapkan kelak akan menggantikan kedudukanya kalau dia sudah mengundurkan diri.
Namun nasib buruk menimpa keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu, ibu muda ini meninggal dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka sehingga ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau Neraka, tak seorangpun tahu kemana perginya orang gila itu.
"Demikianlah riwayatku yang tidak mengembirakan, Sejak kecil aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh Kong-kong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini. Akan tetapi aku tidak sudi!"
"Mengapa tidak suka, Soan Cu?"
"Siapa sudi mengurusi orang-orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat, karena itu aku suka kepadamu Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka, engkau berani dan baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah, sebentar lagi, kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!"
Sin Liong terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang.
"Benarkah? Mengapa aku dibunuh? Bukankah Kongkongmu berjanji bahwa kita akan berjanji akan menunggu sampai Sumoiku tiba di Pulau Neraka?"
"Uhh, kau percaya kepada Kong-kong! Hmm, dia hanya membohong."
"Ah, mengapa begitu? Sebagai seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu."
"Membohong dan menipu merupakan pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan layak di sini! itu adalah tanda dari kecerdikan seseorang!"
"Pantas kau tadi pun membohongi penjaga." Sin Liong mencela.
"Memang, kalau tidak membohong, mana bisa masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan celaka kalau akau tidak membohong."
"Hmmm..., alasan dicari-cari dan ngawur. Jadi mereka hendak membunuhku? Mudah saja, apa dikira aku begitu mudah dibunuh?"
"Kau tidak tahu kecerdikan Kong-kong, Sin Liong. Kalau digunakan kekerasan, agaknya kau akan melawan dan sudah melihat kau tadi sudah lihai. Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk mengeroyokmu dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular, kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang memenuhi tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kaulakukan untuk menyelamatkan diri?"
"Hemm, aku akan berusaha membela diri, kalau aku gagal, aku akan mati dan habis perkara. tidak ada hal yang menggelisahkan hatiku."
"Kau sombong! Kau tidak minta tolong kepadaku?"
"Andaikata aku minta tolong juga, kalau kau tidak mau menolong, apa artinya? Tanpa kuminta sekalipun, kalau kau mau menolong, bagaimana caranya? Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja, Soan Cu. Betapapun juga terima kasih atas kedatanganmu dan kebaikan hatimu. Kau seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada diantara orang-orang liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau berada disini."
Soan Cu mengeluarkan sebuah bungkusan.
"Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kaupergunakan obat bubuk ini untuk menggosok semua kulit tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di sekelilingmu. Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa yang berani datang mendekat, apalagi menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk menyerahkan ini, akan tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat tinggal, Sin Liong."
Sin Liong menerima bungkusan itu, mengulurkan tangan dari antara ruji jendela dan memegang lengan dara itu.
"Nanti dulu, Soan Cu."
Ada apa lagi?" Gadis itu membalikan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan. Hal ini dilakukan oleh Sin Liong karena dia merasa terharu juga oleh pertolongan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu.
"Soan Cu, tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong-kongmu mengetahui akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah, paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudalah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar.
Sin Liong berdiri temenung sejenak, kemudian kembali ketengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya. Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak kan gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguhpun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukanya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat menangkap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak membohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia menanti.
Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba-tiba saja munculah mereka! Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlumba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui jendela.
Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang berterbangan. Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang dengan kacau, menabarak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang keluar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar saja suara binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi mendadak Sin Liong meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar, Suara seorang wanita memaki-maki,
"Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jedela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.
Bersambung............................